Sumber: http://tinyurl.com/3trf48b |
Namun,
ada sesuatu di balik kesemuanya itu. Saat disajikan, pernahkah Anda
memperhatikan tampilan bakmi pesanan Anda? Untuk bakmi kuah, jamak terlihat minyak
yang berenang-renang di permukaannya, sedangkan pada bakmi tanpa kuah (biasanya
kuahnya dipisah) akan tampak kesan berminyak atau mengkilat pada permukaan untaian-untaiannya.
Sumber: http://tinyurl.com/7unazpd |
Bagaimana
cara pembuatan lapchong? Sederhana
saja. Kulit daging babi dipanaskan hingga minyak dan lemaknya terekstrak.
Kemudian, dilakukan penyaringan agar minyak dan lemaknya terkumpul. Untuk
mendapatkan lapchong sebanyak 600 ml,
diperlukan 1-2 kg kulit daging babi (tergantung tingkat viskositas/kekentalan
yang diinginkan). Harganya? Hanya Rp. 35.000,-.
Berdasarkan
informasi dari pedagang di pasar tradisional Bogor, beberapa produsen lapchong rumahan menyuplai bahan ini ke
tukang olahan bumbu di sekitar pasar. Salah seorang penjual lapchong mengatakan bahwa konsumennya
adalah non-Muslim yang menggunakan lapchong
untuk keperluan memasak dan pedagang yang bergerak di bidang restoran (termasuk
penjual bakmi). Dia juga menuturkan bahwa
lapchong yang ditambahkan pada bakmi biasanya dicampur lagi dengan minyak
sayur agar warnanya menjadi lebih muda, serta terkadang dibubuhi bawang untuk
meroketkan aromanya.
Kondisi
semakin memprihatinkan dengan pengakuan pedagang bakmi yang menuturkan bahwa
dia cenderung tidak memberi tahu konsumen ihwal keberadaan lapchong pada produk jualannya. “Jika konsumen tidak bertanya,
maka saya tidak akan memberi tahu”.
Alih-alih mengatakan kebenaran, penjual lain berujar, “Kalau konsumen bertanya, saya akan bilang minyak ini adalah minyak kaldu”. Masyaallah! Getir. Namun itulah potret bisnis perkulineran di tanah air. Tidak bisa digeneralisir, namun fakta hasil investigasi Kru Jurnal Halal ini dapat dijadikan referensi agar kita lebih berhati-hati. Waspada dan cermat. Tidak ada ruginya menjadi konsumen yang kritis.
對不對 (Duì bùduì)? Toh kita memperjuangkan kehalalan makanan yang akan masuk ke tubuh kita sendiri. Insya Allah setiap usaha yang kita lakukan untuk menjamin kehalalan produk pangan yang akan kita konsumsi terhitung jihad kecil kita di mata-Nya. Wallahu a’lam bish-shawab. [TH/BP; Referensi: Jurnal Halal]
Alih-alih mengatakan kebenaran, penjual lain berujar, “Kalau konsumen bertanya, saya akan bilang minyak ini adalah minyak kaldu”. Masyaallah! Getir. Namun itulah potret bisnis perkulineran di tanah air. Tidak bisa digeneralisir, namun fakta hasil investigasi Kru Jurnal Halal ini dapat dijadikan referensi agar kita lebih berhati-hati. Waspada dan cermat. Tidak ada ruginya menjadi konsumen yang kritis.
對不對 (Duì bùduì)? Toh kita memperjuangkan kehalalan makanan yang akan masuk ke tubuh kita sendiri. Insya Allah setiap usaha yang kita lakukan untuk menjamin kehalalan produk pangan yang akan kita konsumsi terhitung jihad kecil kita di mata-Nya. Wallahu a’lam bish-shawab. [TH/BP; Referensi: Jurnal Halal]
sangat bermafaat...saya baru tau tentang ini.
ReplyDeleteLapchong itu sosis babi, ngga pernah minyak babi dipanggil lapchong. Salah kaprah istilah. Lapchong terbuat dari daging babi beserta minyaknya, bentuknya kyk sosis warnanya merah tua.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete